A. Latar Belakang Masalah
Manusia pada
umumnya hidup bermasyarakat karena untuk memenuhi segala kebutuhannya, ia
memerlukan uluran tangan atau bantuan orang lain. Oleh karenanya manusia
disebut sebagai makhluk sosial. Dalam Firman Allah SWT disebutkan:
Artinya:
Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Demikian Allah
menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersukusuku menandakan bahwa
manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan saling membutuhkan antara satu
dengan yang lain. Interaksi antar sesama manusia ini akan membawa kemajuan
peradaban manusia.
Hubungan antar
sesama manusia dalam Islam disebut dengan istilah muamalah (dalam arti luas),
salah satu lapangan pembahasan hukum Islam untuk mengatur kepentingan manusia
dalam hidupnya. Muamalah tujuannya adalah untuk menciptakan
kemaslahatan-kemaslahatan manusia dan menghindarkan kesulitan manusia dengan
menghindari yang batal dan haram.
Hal ini berbeda
dengan ibadah yang memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,
bersyukur atas nikmat Allah dan mengharapkan pahala di akhirat. Ibadah bersifat
statis, tidak boleh melampaui apa yang telah disyariatkan dan terikat dengan cara-cara
yang diperintahkan oleh Allah.[1]
Menurut Ibnu
Abidin muamalah meliputi lima perkara yaitu: transaksi kebendaan (al-mu’awadul
maliyah), pemberian kepercayaan (amanat) seperti titipan barang dan
sebagainya, perkawinan (munakahat), urusan persengketaan dan pembagian
warisan.[2]
Pengertian
muamalah menurut bahasa yaitu perhubungan atau pergaulan. Menurut pembagian
lapangan pokok fiqh yang telah disepakati oleh fuqaha, maka yang dimaksud
muamalah adalah pembagian fiqh selain ibadah yaitu hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia sesame manusia. Muamalah dalam arti yang khusus menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh Drs. Masduha Abdurrahman yaitu
bagian fiqh yang membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan
perhubungan manusia sesama manusia dalam urusan kebendaan dan hak-hak kebendaan
serta cara-cara menyelesaikan persengketaan mereka.[3]
Dalam Islam
telah dijelaskan macam-macam bentuk dan tata cara bermu’amalah seperti jual
beli, sewa menyewa, bagi hasil dan sebagainya. Namun tingkat pengetahuan agama
yang berbeda-beda pada setiap orang atau masyarakat akan mempengaruhi sistem
akad yang sering dilakukan oleh masyarakat. Apakah akad tersebut telah sesuai
dengan hukum Islam atau tidak?
Masyarakat awam
sering melakukan akad atau transaksi hanya berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dan berkembang pada masyarakat itu, tanpa mengetahui atau
memperhatikan seluk-beluk hukumnya, terutama dalam hukum Islam.
Seperti kasus
yang terjadi pada sebagian masyarakat Desa Ellak Daya, Kecamatan Lenteng,
Kabupaten Sumenep yang menambang batu guna menambah penghasilan keluarga, dan
ada juga yang merantau ke pusat-pusat perekonomian di kota besar. Batu-batuan
yang melimpah menarik minat sebagian masyarakat untuk digali karena memiliki
nilai manfaat dan nilai jual. Pemanfaatan yang paling sederhana digunakan
sebagai bahan bangunan. Dan dalam perkembangannya batu dapat digunakan untuk
aneka kebutuhan, tergantung dari jenis dan kualitas batu. Seperti peralatan dapur,
kerajinan maupun ornamen hias.
Namun tidak
semua orang yang mampu menambang batu memiliki lahan pertambangan, sehingga
penambang mencari lahan dengan jalan membeli atau menyewa kepada orang lain.
Biasanya lahan pertambangan batu berupa bukit kecil atau lereng bukit dengan
kandungan batu yang dominan, tidak banyak ditumbuhi tanaman keras dan memiliki
lapisan tanah yang sedikit.
Praktek
eksploitasi lahan penambangan batu di Desa Ellak Daya yang melibatkan dua belah
pihak yaitu antara pemilik lahan dan pengelola lahan yang kemudian melakukan
akad atau perjanjian, di mana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban.
Pihak pemilik lahan memberikan lahannya kepada pengelola dengan kompensasi
pembayaran dan dalam jangka waktu tertentu kemudian pihak pengelola
berkewajiban membayarnya dan memiliki hak atas lahan tersebut untuk
mengelolanya yaitu dengan mengambil material berupa batu dalam waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kesepakatan ketika melakukan perjanjian. Setelah akad
atau perjanjian berakhir, maka lahan tersebut dikembalikan lagi kepada
pemiliknya.
Praktek tersebut
oleh masyarakat Desa Ellak Daya disebut sebagai perjanjian sewa-menyewa.
Perjanjian sewa menurut pengertian syara’ adalah عقد
على المنافع بعوض “suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”[4]
Perjanjian sewa
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ellak Daya tersebut tentunya tidak sesuai
dengan pengertian sewa yang dimaksudkan karena adanya perpindahan tangan
terhadap obyek perjanjian, sedang dalam perjanjian sewa tidak ada pengambilan
terhadap obyek perjanjian tetapi hanya sebatas pada pemanfaatan obyek
perjanjian. Perjanjian tersebut juga terkesan sebagai perjanjian jual beli
karena terjadi perpindahan tangan terhadap obyek perjanjian yaitu material
berupa batu yang terkandung di dalamnya.
Kasus tersebut
mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut terhadap praktek eksploitasi
lahan penambangan batu yang terjadi di Desa Ellak Daya, kemudian menjelaskan
pandangan hukum Islam terhadap praktek tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian
latar belakang masalah tersebut penulis merumuskan pokok masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk eksploitasi
lahan penambangan batu di Desa Ellak Daya?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam
terhadap praktek tersebut?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan praktek eksploitasi lahan penambangan
batu yang terjadi di Desa Ellak Daya.
b.
Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap praktek eksploitasi lahan penambangan batu.
2. Kegunaan Penelitian
a.
Sebagai sumbangsih pemikiran dalam hukum Islam khususnya tentang muamalah.
b.
Sebagai sumbangan pemikiran kepada warga
Desa Ellak Daya pada umumnya dan pihak-pihak yang terlibat.
D.
Telaah Pustaka
Dalam sebuah skripsi yang ditulis oleh Siti Nurhayati, AKTIVITAS PENAMBANGAN BATU KAPUR DAN
SUMBANGANNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI DESA TLOGOTIRTO KECAMATAN GABUS
KABUPATEN GROBOGAN menunjukkan hasil penelitiannya bahwa 32,14%
responden di Desa Tlogotirto berumur 35-39 tahun. Tingkat pendidikan responden sebanyak 98,21%tamatan
SD. Responden sebanyak 30,36% berdomisili di dusun Ngrejeng. Untuk jumlah
tanggungan keluarga, responden sebanyak 58,93% memiliki tanggungan keluarga 3-4
orang. Sebagian besar responden yaitu 82,14% menguasai luas lahan pertanian
kurang dari 0,5 Ha dengan status lahan penambangan 76,79% dari responden
bekerja bukan pada lahan milik sendiri tetapi lahan milik orang lain.Dalam
kemampuan mengambil batu kapur, responden sebanyak 57,14% mampu mengambil batu
kapur rata-rata 2-3m perhari dan responden sebanyak 73,21% rata-rata mampu
menggali sedalam 1-1,5m perhari. Adapun alat yang digunakan berupa cangkul,
gancu, dan keranjang. Responden sebanyak 89,29% membiarkan begitu saja bekas
galian batu kapur tanpa ada usaha untuk menutupnya kembali. Aktivitas
penambangan yang dilakukan oleh responden sebanyak 64,29% dimula jam
06.00-17.00 atau selama 9 jam perhari dengan pendapatan responden perhari seluruhnya
kurang dari Rp 10.000,00.[5]
Dalam skripsi lain yang ditulis oleh Agussalam Nasution, KEPEMILIKAN BAHAN GALIAN PERTAMBANGAN (BGP) DALAM
PERSFEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM NASIONAL INDONESIA (Suatu Tinjauan Terhadap
Status Tambang Rakyat Ilegal di Mandailing Natal)
menguraikan menganai kepemilikan bahan galian pertambangan (BGP) ditinjau dari
hukum Islam dan hukum nasional.
a). Kepemilikan
BGP dalam Persfektif Hukum Islam
Secara umum ada dua jenis barang temuan berharga
yang bisa diperdapati manusia dalam perut bumi yaitu pertama, barang-barang
tambang, dan kedua, harta peninggalan orang-orang zaman dahulu yang tertimbun
di bumi karena suatu sebab-sebab tertentu, barang jenis kedua ini biasa disebut
dengan harta karun. Dalam melihat kepemilikan barang-barang tambang/harta karun
ini, ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Perbedaan pendapat ini
secara umum dibahagi kepada dua pendapat yakni, pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah disatu pihak dan pendapat Malikiyah di pihak lain.
Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan barang
tambang itu adalah merujuk atau berdasarkan kepada kepemilikan tanah itu
sendiri, sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahawa barang-barang tambang
adalah dikuasai oleh negara. Pernyataan pendapat para ulama ini bias kita
telusuri dalam beberapa kitab klasik karya ulama-ulama mazhab tersebut.
b). Kepemilikan BGP dalam
Persfektif Hukum Nasional
Dalam
hal bahan galian pertambangan yang tidak dimiliki oleh seseorang atau kelompok dijelaskan
bahwa negara tidak memiliki, melainkan bertindak selaku pemegang kekuasaan.
Baik dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 maupun Undang-Undang Peraturan Dasar
Agraria (UUPA) ditegaskan bahwa hak menguasai oleh Negara adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sedangkan
bahan galian pertambangan yang berada di atas hak milik, tidak ada ketentuan
khusus tentang hal ini, namun merujuk kepada hak penguasaan negara atas tanah
dalam UUPA, maka kepemilikan individu dan kelompok (komunitas adat) terhadap tanah
diakui keberadaannya. Berdasarkan hal ini maka barang-barang tambang yang
berada di atas tanah hak milik harus juga diakui keberadaannya sebagai bahagian
dari hak kepemilikan tanah tersebut. Negara tidak boleh sewenang wenang memberi
izin kepada seseorang/badan Usaha untuk mengambil bahan tambang yang berada di
atas tanah milik pribadi maupun yang berada di atas tanah milik komunitas adat.
Hal ini karena penguasaan negara atas tanah bukan lah berarti penguasaan dengan
maksud memiliki sepenuhnya, namun penguasaan itu adalah hak negara untuk
mengatur penyelengggaraan pertanahan agar bias dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.[6]
Jadi, penelitian mengenai penambangan batu dalam praktek sewa-menyewa menurut hukum
Islam masih belum pernah dibahas. Maka, penulis berniat untuk mengangkatnya
sebagai salah satu persyaratan tugas akhir dalam bentuk skripsi, di mana objek
penelitiannya adalah Desa Ellak Daya.
E. Kerangka Teoritik
Kerangka teoritik yang
dipakai adalah berdasarkan dasar hukum sewa-menyewa dan jual-beli, karena
keduanya sangat berkaitan dalam pemecahan masalah ini. Dasar-dasar hukum
tersebut diambil dari Al-Qur’an, hadits dan ijma’.
1. Sewa-menyewa
a. al-Qur’an
وان اردتم ان تسترضعوا اولادكم فلا جناح عليكم اذا سلمتم ما
اتيتم با لمعروف واتقوا الله واعلموا ان الله بما تعملون بصير[7]
Artinya:
Dan jika kamu ingin anak-anakmu disusukan oleh orang lain maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan bayaran menurut yang patut.
bertaqwalah kepada Allah ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.
b. al-Hadis
عن ابن عباس قال احتجم االنبي ص.م. واعطى الذى حجمه ولوكان
حراما لم يعطه[8]
Artinya
:
Dari Ibnu Abbas berkata:
berbekamlah Nabi saw. dan memberikan ongkos bekamnya dan jika seandainya haram
maka beliau tidak akan memberinya.”
2. Jual-Beli
a. al-Qur’an
واحل
الله البيع وحرم الربوا[9]
Artinya:
Dan Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.
يأيها
الذ ين امنوا لا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم[10]
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yangberlaku dengan suka sama suka diantara
kamu.
b. al-Hadis
سئل
النبي صلى الله عليه وسلم أى الكسب أطيب؟ قال: عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور[11]
Artinya:
Seseorang bertanya kepada Nabi saw. apakah
pendapatan (perolehan) yang baik dengan pekerjaan hasilkaryanya sendiri serta
jual beli yang mabrur.
إنما البيع عن تراض[12]
Artinya:
Sesungguhnya jual-beli
itu atas dasar sukarela.
c. Ijma’
Para ulama telah
sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai.[13]
Melihat dari dasar hukum jual beli ini baik yang dijelaskan dalam
al-Qur’an dan al-Hadis dan ijma’ jelas bahwa jual beli itu halal untuk
dilakukan serta juga jual beli itu harus didasarkan pada kerelaan yang
melakukannya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian
yang penyusun lakukan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu
dengan cara mencari data secara langsung ke lapangan untuk mengetetahui lebih
jelas pelaksanaan praktek penambangan
batu
di Desa Ellak Daya.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian
ini adalah diskripsi yaitu untuk menggambarkan secara jelas terhadap
pelaksanaan praktek tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan pada
sifat penelitian tersebut, maka pendekatan yang penyusun gunakan dalam
penulisan ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisa tentang penambangan dalam praktek sewa-menyawa di Desa Ellak
Daya itu dilihat dan diukur dengan hukum Islam. Apakah pelaksanaannya
menyimpang dari aturan hukum Islam atau tidak.
4. Populasi dan Sampel
Sebelum
menentukan populasi dan sampel dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu
penyusun memberikan pengertian tentang populasi dan sampel.
Yang dimaksud
dengan populasi yaitu semua individu untuk siapa kenyataan yang diperoleh dari
sampel itu hendak digeneralisasikan sedangkan yang dimaksud dengan sampel yaitu
sebagian individu yang diselidiki.[14]
Populasi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah penambang batu dan pemilik
tanah, sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah aparat pemerintah Desa, dan
tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Penyusun
menggunakan metode observasi atau pengamatan secara langsung atau direct
observation. Metode pengamatan langsung yaitu jenis pengamatan yang
dilakukan oleh seorang peneliti secara langsung terhadap subjek yang diteliti.
Metode ini diperlukan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh terhadap subjek
penelitian dan sebagai konfirmasi terhadap data yang diperoleh dengan dua
metode lain yang juga digunakan.
b. Wawancara
Wawancara ini
merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan jalan mendapatkan informasi
dengan cara bertanya langsung kepada responden. Dalam pengumpulan data ini
penyusun bertanya langsung kepada responden yang meliputi individu yang
terlibat meliputi pemilik tanah, penambang batu, tokoh agama, dan tokoh
masyarakat yang berada di sekitar Desa Ellak Daya tersebut.
Sedangkan teknik
wawancara menggunakan wawancara semi terstruktur (semi structured interview),
yakni pertanyaan yang diajukan sesuai daftar yang fleksibel atau sebuah pedoman
yang tidak dari sebuah angket formal.
c. Dokumentasi
Dokumentasi
adalah penelitian terhadap dokumen-dokumen yang berkenaan dengan data yang
dibutuhkan, seperti, surat-surat, akta, catatan-catatan buku-buku dan
keterangan lain yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.
6. Analisis Data
Analisis yang
digunakan oleh penyusun adalah analisis deduktif. Analisis deduktif adalah cara
untuk menganalisa data yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang
bersifat khusus.
7. Pendekatan
Masalah
Pendekatan yang
dipakai untuk menarik kesimpulan adalah dengan pendekatan tekstual normatif.
Penyusun akan menganalisa antara kesesuaian data dalam Al-Qur‟an dan hadis maupun
kitab-kitab fiqh.
F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini
terdiri dari lima bab. Pada bab pertama terdiri dari lima sub
bab, diawali dengan pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah yang
diteliti. Kedua, perumusan masalah, merupakan penegasan apa yang terkandung
dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian, tujuan
adalah keinginan yang akan dicapai dalam penelitian ini, sedangkan kegunaan
penelitian merupakan manfaat dari hasil penelitian.
Keempat, metode
penelitian, yang berisi tentang cara-cara yang digunakan dalam penelitian.
Kelima, sistematika pembahasan, berisi tentang struktur dan turunan yang akan
dibahas dalam skripsi.
Bab
kedua berisi tentang gambaran umum tentang akad, ijarah
dan jual beli dalam hukum Islam yang terdiri dari tiga sub bab, pada sub bab
pertama membahas tentang pengertian, dasar hukum, rukun, syarat sah, dan
batalnya akad. Sub bab kedua, berisi tentang pengertian sewa. Sub bab ketiga,
berisi tentang pengertian, dasar hukum, tujuan, rukun, dan syarat jual beli.
Bab
ketiga berisi tentang gambaran umum Desa Ellak Daya dan
pelaksanaan praktek penambangan
batu di Desa Ellak Daya yang terbagi dalam dua sub bab, sub bab pertama
membahas tentang batas dan luas wilayah, keadaan geografis arbitasi,
kependudukan, keadaan sosial, ekonomi, dan keagamaan. Sub bab kedua, membahas
tentang pelaksanaan praktek penambangan
batu
di Desa Ellak Daya.
Bab
keempat adalah praktek penambangan batu di Desa Ellak Daya
ditinjau dari hukum Islam yang terbagi dalam dua sub bab. Sub bab pertama,
berisi tentang praktek akad menambang batu ditinjau dari segi rukun dan syarat
akad. Sub bab kedua, berisi tentang praktek akad menambang batu ditinjau dari
segi bentuk dari sifat hukumnya.
Bab
kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil
analisis penelitian dan saran-saran yang sekiranya dapat digunakan sebagai
masukan, sehingga praktek penambangan
batu
di Desa Ellak Daya tidak rancu dan sesuai dengan hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA SEMENTARA
ü Ahmad
Muhammad dan Abdul Karim, Fathi Ahmad. 1980. Sistem Ekonomi Islam,
Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Alih bahasa Drs. H. Abu Ahmadi dan
Anshari Umar Sitanggal. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
ü Al-Bukhari,
Abi Abdillah Ibnu Ismail. 1981. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr.
ü
An-Naisaiburi, Abi Husain Muslim
al-Hajjaj al-Quraisi. t.t.
Sahih
Muslim. Beirut: Dar al Fikr.
ü As-Sayyid
Sabiq. 1977. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
ü Departemen
Agama Republik Indonesia. 1989. Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama Republik
Indonesia.
ü Majah,
Ibn. t.t. Sunan Ibn Majah. Semarang: Toha Putra.
ü Masduha,
Abdurrahman. 1992. Pengantar dan Azas-azas Hukum Islam (Fiqh Muamalah).
Surabaya: Central Media.
ü Muhammad
bin Isma’il as-San’ani. t.t.
Subul
as-Salam.
Bandung:
Dahlan.
ü
Rachmat Syafe’i. 2001. Fiqh
Muamalah.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
ü Sutrisno
Hadi. 1980. Metodologi Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
ü http://2skripsi.blogspot.com/2011/04/aktivitas-penambangan-batu-kapur-dan.html/ (Diakses pada 10 April 2012).
ü http://www.mandailingonline.com/2012/03/kepemilikan-bahan-galian
pertambangan-bgp-dalam-persfektif-hukum-islam-dan-hukum-nasional-indonesia-suatu-tinjauan-terhadap-status-tambang-rakyat-ilegal-di-mandailing-natal/ (Diakses pada 22 maret 2012).
[5]http://2skripsi.blogspot.com/2011/04/aktivitas-penambangan-batu-kapur-dan.html/ (Diakses pada 10 April 2012).
[6]
http://www.mandailingonline.com/2012/03/kepemilikan-bahan-galian-pertambangan-bgp-dalam-persfektif-hukum-islam-dan-hukum-nasional-indonesia-suatu-tinjauan-terhadap-status-tambang-rakyat-ilegal-di-mandailing-natal/ (Diakses pada 22 Maret 2012).
[7] al-Baqarah (2):
233
[8] al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr,1981) III:54, Hadis dari Ibnu Abbas R.a
[10] an-Nisa’ (4):
29
[11]Muhammad bin
Isma’il as-San’ani, Subul as-Salam.
“Bab Syurutuhu Wanaha ‘Anhu”. (Bandung:
Dahlan, t.t.), III: 14, hadis sahih riwayat al-Hakim dari Rifa’ah Ibn Rafi’.
[12] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “12. Kitab at-Tijarat”,
18. Bab Ba'i al-Khiyar, (Semarang:
Toha Putra, t.t.), III: 737, hadis nomor 2185, hadis sahih dari Daud Ibn Salih
al-Madani dari ayahnya.
[13] Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar